Membangun Kerajaan Hati Sebelum Membangun Kemewahan

"Tahukah kamu? Jika kamu seperti itu, itu tandanya kamu manusia miskin, miskin hati!" nasihat Haji Ismail pada Boby, anaknya.

Boby mengelola restoran miliknya. Namun, dalam mengelola restoran itu, Haji Ismail banyak menerima laporan yang kurang enak didengar.

"Ayah dengar, kamu suka mengundur-undur gaji karyawan. Kamu juga sering 'mempermainkan' supplier. Empat bon dari supplier sudah numpuk, tapi kamu masih jawab nanti-nanti terus, atau cuma bayar satu bon. Jangan mengambil keuntungan dari penderitaan orang. Itu tidak baik. Buat apa senang, sementara ada orang yang menjadi susah karena ulah kita?"

"Dari mana ayah dengar semua itu?" potong Boby penasaran.
"Ayah nggak sengaja berkunjung ke restoran kamu. Di sana ayah bertemu dengan pemasok minyak tanah. Dia yang cerita. Tega kamu Bob. Pemasok kecil saja masih kamu undur-undurkan bayarannya. Ketika ayah konfirmasikan lebih lanjut, ternyata menemukan semakin banyak hal yang mengecewakan."

"Bob, dengar ya, untuk gaji karyawan, menurut sunnah yang dicontohkan Rasulullah, kalau bisa, kita bayarkan sebelum keringatnya kering. Lalu, untuk para pemasok, kenapa juga kamu tunda-tunda pembayarannya. Toh, kamu juga ingin cepat kalau minta barang ke mereka. Harusnya adil dong. Lagipula, bisnis kamu itu bisnis tunai, bisnis cash. Nggak ada orang makan di tempat kamu, lalu ngutang. Nggak ada, kan?"

Boby hanya terdiam. Dia menganggap ayahnya tidak mengerti tentang bisnis. Boby berprinsip, jika pembayaran bisa ditunda, mengapa harus dibayarkan segera? Bukankah uangnya bisa diputar dulu, diendapkan di bank, dan sebagainya. Begitu pikir Boby.

"Ayah mengerti apa yang kamu pikirkan. Kamu ingin untung lebih besar, kan?" kata ayahnya membaca pikiran Boby. Selanjutnya, keluarlah kata-kata seperti ini, "kamu tahu nggak? kalau begitu, itu tandanya kamu masih miskin; miskin hati!"

Cerita ini, dengan beragam versinya, sangat mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita melihat banyak orang kaya tetapi tetap menipu dan terus mengejar kekayaan. Kita juga sering melihat yang berkedudukan tinggi, tetapi terus mengejar kedudukan yang lebih tinggi lagi. Mereka ini, sebagaimana kita, boleh jadi tidak pernah terpuaskan dahaganya. Mereka selalu merasa kurang dan kurang. Akhirnya, sebagaimana disebut Haji Ismail, manusia-manusia seperti ini sangat layak di sebut miskin, bukan orang kaya, bukan orang sukses. Sementara itu, tidak sedikit orang-orang yang ingin kaya, tetapi mencari jalan menuju kaya dengan cara-cara yang salah. Walhasil, mereka bertambah miskin, bertambah susah, dan malah bertambah jauh dari kaya.

Luqman teringat nasihat Haji Muhidin. Katanya, "Bangun dulu kerajaan hati yang mantap sebelum membangun kemewahan." Maksudnya, hilangkan sifat serakah, rasakan kebersyukuran terhadap apa yang ada dalam genggaman kita, selalu mencari kelebihan, bukan kekurangan. Sehingga, kata Haji Muhidin lagi, "kita bisa berbuat banyak dengan apa yang kita miliki, bukan fokus terhadap apa yang tidak kita miliki. Hidup menjadi nikmat karena kita menikmati. Kita pun bisa melakukan semua yang diperintahkan Allah untuk berbagi dan peduli terhadap sesama."

Nah, nasihat Haji Muhidin pada baris terakhir ini, "berbagi dan peduli", menjadi kunci sukses mudah kaya dan sukses. Kemampuan kita untuk berbagi dan peduli, selain tingkat kepatuhan terhadap perintah dan larangan-Nya, menjadi tolok ukur Allah untuk membukakan pintu-pintu kekayaan dan kesuksesan kepada kita. Kekayaan dan kesuksesan yang sebenarnya adalah ketenangan dan kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan. Ukurannya pun menjadi relatif. Ukurannya tidak lagi menjadi ukuran dunia atau ukuran materi. Ia sudah melangkah jauh melampaui ukuran material. Para ulama mengatakan, kekayaan yang sebenarnya adalah kedekatan dan kecintaan kita kepada-Nya. Jika kita sudah dekat dengan Allah, jika kita sudah cinta kepada-Nya, harga dunia menjadi sangat kecil, tiada artinya.

Dikisahkan, Umar bin Khaththab pernah menginfakkan kebun kurma yang dimilikinya gara-gara ketinggalan shalat ashar berjamaah. Ia menganggap kebun kurma dan kicauan burung yang ada didalamnya itu telah 'menyita' waktunya untuk shalat berjamaah. Umar telah sampai pada tahapan menghargai Allah lebih besar dari harga dunia. Bagi beliau, dunia bukan lagi ukurannya. Harga dunia menjadi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Allah dan akhirat. Bahkan, bagi seorang Umar bin Khaththab, nilai satu kali shalat berjamaah jauh lebih besar daripada harga dunia, yang ketika itu digambarkan dengan luasnya kebun kurma.

Sekarang lihatlah kita, begitu mudahnya kita meninggalkan shalat berjamaah tepat waktu di masjid, bahkan meninggalkan shalat itu sendiri, gara-gara urusan dunia. Kita tega membelakangi Allah, bahkan bermaksiat dengan rezeki-Nya. Kita pun rela mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan yang telah dianugerahkan Allah SWT, lengkap dengan kehormatan, kemuliaan, dan harga diri. Kita gadaikan itu semua demi kekayaan, demi dunia. Inilah sebagian dari wajah kita. Kita masih menghiasi pandangan kita dengan dunia.

Comments :

2 komentar to “Membangun Kerajaan Hati Sebelum Membangun Kemewahan”
Bidina_ali mengatakan...
on 

tulisan ini bagus utk direnungkan... terkait hal ini, suatu ungkapan yg pernah saya dngar adalah "sebaik-baiknya kekayaan adalah Qana'ah (rasa cukup)"

Arif Prasetyo (Moslem Corner) mengatakan...
on 

Mantap da artikel e .... apik, apik

Posting Komentar

Jadwal Sholat Wilayah Indonesia

Twitter

adgitize

 

revolver map

my ping box

Temanku